“Saat ini, Petani adalah Pahlawan tanpa tanda jasa”. Kalimat ini kerap didengungkan menjadi bahan penyemangat dan diskusi diantara par...
“Saat ini, Petani adalah Pahlawan
tanpa tanda jasa”. Kalimat ini kerap didengungkan menjadi bahan penyemangat dan
diskusi diantara para pendamping petani. Petani bekerja tak henti dibawah terik
dan tindasan sistem kapitalisme, menyediakan pangan untuk jutaan manusia. Namun
keuntungan bagi mereka tak seberapa. Ironi di sebuah Negara yang mengklaim
sebagai Negara agraris. Petani adalah pahlawan, namun benar terlupakan. Hari Tani Nasional 24 September yang seyogyanya bisa menjadi satu
momentum tahunan untuk mengingat perjuangan petani dan menjadi momen untuk
merancang gerak pembangunan petani semakin terlupakan. Bahkan dikalangan
penggerak petanipun hari ini terlupakan. Hari Tani ada bukan untuk sekedar
berhura, tapi lebih tepat dimaknai sebagai momen perubahan tahunan, sama seperti halnya evaluasi akhir
tahun sebuah perusahaan atau lembaga. Hari Tani terlupakan, padahal Keppres No
169 Tahun 1963 yang menetapkan bahwa tanggal 24 September sebagai hari tani
sampai hari ini tidak pernah dicabut. Sejarah Hari Tani Nasional perlu kita gali kembali.
Sejarah Singkat
Penetapan hari tani didasarkan
pada hari kelahiran Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria, lebih dikenal dengan UUPA. Alasannya UUPA menjadi hari
pertanian adalah karena salah satu isi UUPA mengatur tentang ketetapan hukum
bagi pelaksanaan redistribusi tanah pertanian (reforma agraria). Ditetapkan
kelahiran UUPA sebagai hari tani dengan pemikiran bahwa tanpa peletakan dasar
keadilan bagi petani untuk menguasai sumber agraria, seperti tanah, air, dan
kekayaan alam, mustahil ada kedaulatan petani. (Pramono, 2010)
Kelahiran UUPA melalui proses
panjang, memakan waktu 12 tahun. Dimulai dari pembentukan "Panitia Agraria
Yogya" (1948), "Panitia Agraria Jakarta" (1951), "Panitia
Soewahjo" (1955), "Panitia Negara Urusan Agraria" (1956),
"Rancangan Soenarjo" (1958), "Rancangan Sadjarwo" (1960),
akhirnya digodok dan diterima bulat Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong
(DPR-GR), yang kala itu dipimpin Haji Zainul Arifin. Kelahiran UUPA mengandung
dua makna besar bagi kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Pertama, UUPA
bermakna sebagai upaya mewujudkan amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 (Naskah
Asli), yang menyatakan, "Bumi dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat". Kedua, UUPA bermakna sebagai penjungkirbalikan hukum agraria kolonial
dan penemuan hukum agraria nasional yang bersendikan realitas susunan kehidupan
rakyatnya. (Bey, 2003)
Semangat UUPA
Setelah proses pembahasan RUUPA
yang berlangsung beberapa lama, Mr. Sadjarwo sebagai Menteri Agraria saat itu
mengucapkan pidato pengantarnya1.
Dikatakan dengan jelas bahwa:
“...perjuangan perombakan hukum agraria
nasional berjalan erat dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk
melepaskan diri dari cengkraman, pengaruh, dan sisa-sisa penjajahan; khususnya
perjuangan rakyat tani untuk membebaskan diri dari kekangankekangan sistem
feodal atas tanah dan pemerasan kaum modal asing...”
Dalam Penjelasan Umumnya2,
dinyatakan dengan jelas bahwa tujuan diberlakukannya UUPA adalah:
a. Meletakkan
dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan merupakan alat
untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat tani,
dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
b. Meletakkan
dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
c. Meletakkan
dasar-dasar untuk memberikan kepastian
hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Sebenarnya kelahiran UUPA ini
menunjukkan semangat perlawanan terhadap kapitalisme dan kolonialisme yang
menyebabkan "penindasan manusia atas manusia" yang menggunakan alat
negara dan kekuasaan. Namun semangat itu saat ini terhempas oleh kepentingan
penguasa dan pemilik modal.(Bp)
1 Pidato Pengantar Menteri Agraria dalam
Sidang DPR-GR, 12 September 1960 oleh Mr. Sadjarwo. Dalam Risalah Pembentukan
UUPA dan Boedi Harsono, 1999, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, edisi revisi, Djambatan, Jakarta, hal. 585
2
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Penjelasan Umum Angka I.
COMMENTS